Oleh: Nalim,
S.Si., M.Si
Abstract:
The problems of Good Corporate Governance/GCG in
Indonesia have wide responses, to some extent of its aplications, from the
divergent parties of both theorists and practitioners those are both in the
government or the private sectors. For instance, the policy of Badan Usaha
Milik Negara/BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 on the application of Good Corporate
Governance to the state commercial institution (BUMN), the formation of
Corporate Governance committee, and banking legal codes. The prevailing corrupt
cases, however, take place towards both the state or private commercial
institutions such as banking. It is necessary to take into account and settle
the problems of GCG in which the the entire parties of varied disciplines are
involved. This paper thus point out the Islamic ethics in terms of global
concept of GCG nowadays and treat the issue how to practice it that spreads
over the different places in the Koran and the prophetic tradition in order to
be integrated prior to the context of Indonesia.
Kata
kunci : Good Corporate Governance,
Islam, al-Qur’an, Hadits, Indonesia
A.
Pendahuluan
Di Indonesia, pembahasan tata
kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG)
menjadi sangat penting karena momentum krisis ekonomi dan keuangan yang
terjadi pada 1997 yang selanjutnya diikuti dengan gerakan reformasi yang
menghasilkan kesadaran akan pemberantasan korupsi. Bahkan, salah satu biang
krisis ekonomi dan keuangan itu adalah terlalu buruknya corporate governance
yang terdapat pada perbankan Indonesia. Dari krisis itu pulalah, isu corporate
governance menjadi kuat dan menyebar ke semua lapisan masyarakat. Saat ini,
isu itu telah sampai pada tahap penerapan, baik oleh kalangan akademisi maupun
praktisi yang berada baik di sektor swasta maupun pemerintah. Di tubuh
pemerintahan, misalnya, telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Badan Usaha
Milik Negara Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good
Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara. Selain itu, pemerintah
telah mendorong lebih jauh tata kelola perusahaan yang baik itu, antara lain,
melalui Komite Corporate Governance, UU
Penulis
adalah Dosen STAIN Pekalongan
Perbankan, UU Pasar
Modal, UU Persero, Standar Akuntansi, dan Komite Pemantau Persaingan Usaha. Di
tubuh BUMN, terjadi pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan
seperti komisaris independen, komite audit, komite renumerasi, komite resiko,
dan sekretaris perusahaan yang merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan
efektifitas “Corporate Governance.” Namun, kasus korupsi yang melanda
setiap badan usaha milik pemerintah maupun swasta seperti perbankan, juga
semakin terkuak dan terlihat muncul ke permukaan. Sehingga konsep “Good
Corporate Governance” yang dapat diterapkan secara efektif masih
harus menjadi kajian ulang.
Sesungguhnya persoalan “Corporate
Governance (CG)” baik yang dijalankan oleh pemerintah maupun swasta
merupakan persoalan yang dapat didefinisikan dari berbagai disiplin ilmu
misalnya ekonomi, manajemen, keuangan, akuntansi, hukum, psikologi, filsafat
bahkan dari ilmu agama (Shann, 1997: 181-185). Oleh karena itu, tulisan ini
akan membicarakan Good Corporate Governance dari sudut pandang Islam. Di
sini, moral Islam yang berpencar-pencar pada beberapa tempat pada al-Qur’an dan
Hadis akan dijelaskan secara berkaitan sesuai dengan problem Good Corporate
Governance yang baru muncul, terutama sebagai istilah, dalam kehidupan
modern ini. Jadi, uraian mengenai GCG akan digunakan untuk
mendasari upaya penjelasan yang dimiliki Islam mengenainya dan bagaimana
mengaplikasikannya dalam konteks masyarakat Indonesia.
B.
Pengertian dan Signifikansi Corporate Governance
Pengertian
sederhananya, corporate governance adalah berbicara mengenai bagaimana
perusahaan melaksanakan tanggung jawabnya kepada pemegang saham (shareholders)
dan pemegang amanah (stakeholders) lainnya. Corporate governance
pada dasarnya merupakan mekanisme bagaimana sumber daya perusahaan dialokasikan
menurut suatu aturan ‘hak’ dan ‘kuasa’ tertentu. Ia mengarahkan aksi individu
dalam organisasi dan kegiatan rutin tertentu pada suatu muara. Muara itu bisa
berupa menghasilkan laba sebesar-besarnya dan juga etika sosial.
Ini
adalah perkara strukturasi (Gidden, 1992), yaitu tatanan atau struktur macam
apa yang menggerakkan aksi para individu dan kegiatan rutin tertentu dalam
organisasi. Sebaliknya, tatanan macam apa yang kemudian terbentuk akibat dari
aksi individu dan kegiatan berulang tersebut. Dengan demikian, corporate
governance adalah ‘sumber’
sekaligus ‘hasil’ dari aksi individu dan rutin tertentu dalam organisasi.
Dari penjelasan di atas, tidak
heran terdapat beberapa definisi yang berbeda yang membicarakan CG secara
eksplisit, meskipun menurut implisit dan isinya adalah sama. Turnbull (1997)
mendefinisikan corporate governance sebagai berikut:
“Corporate
governance describes all the influences affecting the institutional processes
including those for appointing the controllers and/or regulators,
involved in organizing the production and sale of goods and services
Turnbull lebih menekankan
bagaimana melakukan tata kelola dalam sebuah organisasi dengan memperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi kepada proses organisasi dalam rangka
menghasilkan dan menjual barang atau jasa. Disamping itu, Turnbull juga
berpendapat bahwa penunjukkan “controllers dan regulators” merupakan
juga substansi penting dalam membangun Good Corporate Governance.
Di sini, Turnbull melihat bahwa
corporate governance berfokus kepada bagaimana organisasi itu bisa
berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu,
Syakhroza (2002: 1-5) telah mendefinisikan corporate governance secara
lebih gamblang, mudah, dan jelas dengan mengatakan bahwa:
“Corporate
governance adalah suatu sistim
yang dipakai “Board” untuk mengarahkan dan mengendalikan serta
mengawasi (directing, controlling, and supervising) pengelolaan
sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif
(E3P) dengan prinsip-prinsip transparan, accountable, responsible, independent,
dan fairness (TARIF) dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Dalam praktiknya, persoalan corporate
governance bukanlah perkara sederhana, karena menyangkut banyak dimensi
yang mencakup semua perilaku organisasi. Seperti, dimensi hukum, finansial,
ekonomi, kelembagaan, dan dimensii manajerial.
Oleh karena itu, manfaat GCG
terbagi dalam tiga bidang (Tatara dan Peterson, 2004: 53): agar dapat membuat
keputusan yang lebih baik (better decision makingi), pergantian harga
stok dan biaya modal yang lebih rendah (lower stock price volatility and
cost of capital), keterlibatan stakeholder secara lebih baik (better
stakeholder engagment). Pada kenyataannya, Corporate Governance
sangat dibutuhkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan shareholder
dan untuk membatasi sikap dan perilaku oportunis melalui manajemen (Tatara dan
Peterson, 2004: 53). Demikian juga, Good Corporate Governance dibutuhkan untuk menjaga pencabutan hak milik shareholder
oleh manajer dan untuk memantapkan manajemen perusahaan yang dimiliki oleh
banyak pemilik secara efisien (Woo Nam dan Chong Nam, 2004: 12).
Konsep mengenai corporate
governance menjadi perbincangan hangat sebagai buah kesadaran atas
pentingnya kebutuhan untuk melindungi hak-hak semua stakeholders
(pemegang saham), termasuk minority shareholders (pemegang amanah).
Dalam sejarah Indonesia,
pemerintah berhasil membangun perusahaan-perusahaan besar yang berguna bagi
pengembangan ekonomi negara tetapi gagal menciptakan mekanisme tata kelola (governance)
yang sehat yang sebenarnya dapat digunakan untuk mengatasi secara efektif
problem-problem yang muncul dari adanya perbedaan kepemilikan (ownership)
dan pengawasan (control). Oleh karena itu, corporate governance
yang rapuh adalah salah satu biang krisis ekonomi dan keuangan di Indonesia
pada 1997/1998.
C.
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Dalam makalahnya, Syakhroza
mengatakan secara tegas bahwa Corporate Governance terdiri dari 6
(enam) elemen yaitu:
1.
Memusatkan perhatian kepada Board
2.
Peraturan dan Hukum sebagai alat untuk
mengarahkan dan mengendalikan.
3. Pengelolaan sumber daya organisasi secara
efisien, efektif, ekonomis, dan produktif (E3P).
4.
Transparan,
accountable, responsible, independent, dan fairness
(Tarif).
5.
Tujuan organisasi.
6.
Strategic control
a.
Fokus kepada Board
Jika kita berbicara tentang corporate
governance ataupun government governance, maka fokus pembahasan
adalah mengenai Board (Maassen and Van den Bosch, 1999; Turnbull, 1997;
Fama, 1980; Fama and Jensen, 1983). Pertanyaannya adalah siapakah board itu? Board
adalah pucuk pimpinan suatu organisasi yang bertanggungjawab untuk mengarahkan
dan mengendalikan serta mengawasi pemakaian sumber daya agar supaya selaras
dengan tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Dalam konteks perusahaan
Indonesia, maka yang dimaksud dengan board adalah Dewan Komisaris dan
Dewan Direksi, hal ini sebagai konsekuensi Negara Indonesia telah mengadopsi
dan menggunakan undang-undang persero yang menggunakan sistim “dual board”.
Sedangkan dalam konteks Institusi Pemerintah, katakanlah Pemerintahan
Indonesia, maka yang dimaksud dengan board adalah Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Pada tataran level yang lebih rendah lagi, yang dimaksud
dengan board adalah Kepala Daerah dan DPRD. Kembali kepada governance dalam
konteks perusahaan, mengapa CG harus fokus kepada board? Jawabannya
adalah karena dewan komisaris dan dewan direksi adalah yang bertanggungjawab
dan memiliki otoritas penuh dalam membuat keputusan tentang bagaimana melakukan
pengarahan, pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan sumber daya sesuai
dengan tujuan perusahaan. Dalam melakukan pengelolaan sumber daya ini tentu
saja harus memenuhi kaidah-kaidah efisien, efektif, ekonomis, dan produktif
–E3P dengan selalu berorientasi kepada tujuan perusahaan. Steinberg dan
Bromilow (2000) menyatakan secara tegas bahwa good corporate governance
akan bisa dibangun dalam suatu perusahaan apabila perusahaan tersebut memiliki strategy
dan planning (lazim disebut strategic planning) yang dapat
diimplementasikan secara secara terukur dari waktu ke waktu dan juga
lihat kembali definisi tentang CG). Apabila strategy dan planning ini terukur
secara jelas maka akan memudahkan bagi board untuk mengukur dan memantau
kinerja perusahaan secara berkesinambungan.
Perencanaan, pemantauan,
penilai-Perbankan belum menerapkan prinsip-prinsip GCG, dan pengawasan –
P4 atas pengelolaan sumber daya dalam suatu perusahaan apakah telah sesuai
dengan tujuan perusahaan dengan tetap berpijak kepada kaidah-kaidah E3P. Oleh
karena itu maka indikator-indikator kinerja tersebut harus disusun dan
ditetapkan secara adil dan bertanggung jawab – fariness and accountable,
kinerja tersebut harus dikomunikasikan secara terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan
- transparan and responsible, dan akhirnya dalam melakukan pengelolaan
sumber daya keputusan yang dibuat harus bebas - independent dari
intervensi pihak manapun.
b.
Hukum dan Peraturan
Suatu organisasi membutuhkan
suatu perangkat hukum dan peraturan yang ditujukan kepada board (dalam
konteks Indonesia terdiri dari dewan komisaris dan dewan direksi) untuk
melindungi dan memagari agar supaya keputusan yang dibuat oleh board
bisa independen (Holland, 1998; Maassen and Van den Bosch, 1999), pengelolaan
sumber daya perusahaan menjadi optimal. Secara tidak berlebihan jika banyak
para peneliti CG menyatakan bahwa inti disiplin ilmu yang membentuk Corporate
Governance adalah hukum, antara lain Selznick, Burel & Morgan, Fama and
Jensen (Selznick, 1948; Burel & Morgan, 1979; Fama and Jensen, 1983).
Pengertian hukum di sini tidak
hanya perangkat hukum yang berasal dari luar perusahaan saja seperti Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Pidana, Undang-Undang Perseroan, Undang- Undang
Perbankan, Standar Akuntansi, Peraturan Bapepam dan Pasar Modal, dsbnya tetapi
juga produk hukum internal perusahaan seperti Kebijakan Perusahaan, Prosedur
Standar Operasi, dsbnya.
Produk hukum dalam membangun Corporate
Governance harus di taati tanpa mengganggu Board dan Manajemen Perusahaan
dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Misalnya, kepedulian perusahaan
terhadap pembangunan masyarakat sekitarnya (community development) tidak
boleh mengganggu kepada pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Kepedulian terhadap masyarakat sekitar ini adalah sebagai konsekuensi
perusahaan sebagai open system yang harus menjaga keseimbangan
kepentingan dengan stakeholders (Cadbury, 1999; Jones, 1995).
c.
Pengelolaan Sumber Daya dengan Kaidah E3P
Jika kita membicarakan
penegakkan Corporate Governance maka perhatian kita bagaimana Board
mengelola sumber daya perusahaan?
Apakah Board telah
mengalokasikan sumber daya ini secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif
(E3P)? Adanya perangkat hukum dan peraturan adalah sebagai upaya untuk
memberikan pedoman yang berisi petunjuk dan batasan kepada Board untuk
bertindak lebih independen. Board Governance yang baik tentu saja akan
berupaya secara terus menerus bagaimana mengalokasikan sumber daya secara
maksimal dalam kerangka pencapaian tujuan perusahaan (Kakabadse, and Kouzmin,
2001; Brickley and James, 1987; Mayers, 1987).
d.
Tujuan Perusahaa
Pentingnya penegakkan good
corporate governance adalah merupakan cerminan keseriusan Board dalam
memberikan komitmen kepada pencapaian tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.
Kakabadse dan Kouzmin telah secara tegas menyimpulkan bahwa Board Governance
yang telah tertata dengan baik akan selalu “concern” terhadap bagaimana
operasional perusahaan yang sejalur dengan tujuan organisasi.
Untuk itu, maka Board
akan menyiapkan suatu perangkat pengukuran kinerja yang link up dengan
tujuan organisasi yang dipakai oleh Board sebagai alat untuk melakukan
pemantauan dan pengendalian kinerja perusahaan (Mayer, 1997; Macmillan and
Downing, 1999; Sternberg and Bromilow, 2000; Kakabadse, Kakabadse, and Kouzmin,
2001). Keterkaitan yang erat antara CG dan tujuan organisasi ini, bahkan
beberapa penulis menyebutkan sebagai satu kesatuan.
Pada umumnya
prinsip-prinsip Corporate Governance terdiri dari 5 (lima) yaitu
Transparansi, Accountability, Responponsibility,
Independency, dan Fairness yang disingkat
dengan TARIF. Sementara itu, Forum for Corporate Governance in Indonesia
yang diambil dari OECD menyebutkan ada 4 (empat) yaitu sebagai berikut:
fairness, transparency, accountability,dan
responsibility.
e.Strategic
Control
Dari penjelasan elemen Corporate
Governance sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa Corporate Governance
merupakan salah satu instrumen strategic control perusahaan (Fama and
Jensen, 1983; Mayers, Shivdasani and Smith, 1997). Fokus kepada Board
dan berorientasi kepada tujuan perusahaan adalah menunjukkan bahwa CG merupakan
alat pengendalian strategis perusahaan.
f.
Kerangka Mekanisme Kontrol pada Corporate Governance
Pembagian mekanisme pengendali corporate
governance menjadi 2, eksternal dan internal, ini sejalan dengan kerangka corporate
governance menurut World Bank yang tertuang dalam publikasinya berjudul, “Corporate
Governance: A Framework for Implementation”.
Mekanisme pengendalian
eksternal tidak lagi hanya berupa pasar modal saja, tetapi juga perbankan yang
memberi suntikan dana, masyarakat selaku konsumen, supplier, tenaga
kerja, ataupun komunitas lokal, pemerintah selaku regulator, serta stakeholder lainnya.
Adapun mekanisme pengendalian internal akan diperluas pembahasannya
tidak lagi dewan komisaris saja, tetapi juga komite-komite di bawahnya, dewan
direksi, sekretaris perusahaan, dan manajemennya. Perlu diperhatikan lebih
lanjut, bahwa pasar sebagai suatu mekanisme tersendiri yang dapat melakukan
fungsi pengendali corporate governance adalah termasuk dalam mekanisme
pengendali eksternal. Sementara shareholder (pemegang saham), meskipun
ia adalah bagian pembentuk pasar, dikategorikan sebagai mekanisme pengendali
internal. Pengelompokan suatu elemen menjadi internal dan eksternal mungkin
agak membingungkan. Tetapi jika dilihat dengan lebih seksama akan nampak bahwa
komponen yang termasuk dalam kategori internal adalah komponenkomponen yang
bersinggungan langsung dengan proses pengambilan keputusan perusahaan. Mereka
terdiri dari manajemen yang berhubungan dengan pengambilan keputusan
operasional perusahaan, dan dewan direksi serta lainnya (pemegang saham dan
dewan komisaris) yang berhubungan dengan keputusan-keputusan perusahaan yang
sifatnya lebih strategis.
Namun demikian, pembagian
tersebut masih terasa arbitrer dan tidak memiliki dasar ideologisnya. Bagaimana
halnya dengan kreditur (perbankan)? Sering kali terjadi di beberapa negara
tertentu kreditur memiliki kekuatan yang cukup signifikan mempengaruhi ataupun terlibat
langsung dalam pengambilan keputusan perusahaan. Bahkan di Jerman dan Jepang,
dimana sistem perbankannya sangat kuat, Bank bisa saja menunjuk orang-orangnya
untuk menjabat sebagai direktur di perusahaan debitur. Tetapi dalam gambar di
atas, dan juga yang kemudian digunakan dalam tulisan ini, perbankan
dikategorikan sebagai pihak eksternal. Dasar pemikirannya adalah bahwa biasanya
suatu perusahaan (di Indonesia khususnya) memilih untuk meminjam dari bank
sebagai sumber pembiayaannya dan bukan menjual saham karena mempertimbangkan
faktor kepemilikan dan kekuasaan pemilik untuk turut menentukan arah kebijakan
perusahaan. Dengan melakukan pinjaman, dana tambahan tetap akan dapat diperoleh
tetapi pemilik lama tidak perlu berbagi kepemilikan dan kekuasaan dengan
pemberi dana yang baru. Dengan kata lain, kreditur, walaupun memiliki hak untuk
menentukan arah kebijakan perusahaan, tetapi tetap bukan pemilik yang memegang
kendali perusahaan.
Prasetyantoko menjelaskan bahwa selama ini, tata kelola korporasi sering hanya direduksi dalam pengertian mikro, seperti didefinisikan dalam prinsip-prinsip tata kelola, seperti transparansi, independensi, kewajaran, akuntabilitas, dan responsibilitas (KOMPAS, 30 Mei 2005). Ada pula penilaian tata kelola korporasi, masih dalam skala mikro, dari struktur kepemilikan (ownership structure), kehadiran komisaris independen atau sistem penggajian eksekutif.
Pertama-tama, tata kelola
korporasi merupakan konsep makro. Kita mengira model perusahaan negara (BUMN)
dan perusahaan keluarga menjadi masalah utama inefisiensi sebagaimana terjadi
di negara kita. Padahal, BUMN lazim di Singapura, sementara di Taiwan dan
Hongkong model perusahaannya berbasis keluarga. Mengapa mereka tetap efisien dan
kita tidak? Jawabannya, mereka memiliki sistem nasional yang baik dalam tata
kelola korporasi. Tata kelola korporasi tidak semata ditentukan oleh kualitas
tiap perusahaan, tetapi terlebih oleh sistem makro yang melingkupinya.
Dua hal perlu diperhatikan dalam
membangun tata kelola korporasi. Secara mikro perlu dilakukan penataan ulang,
seperti privatisasi dan divestasi guna memengaruhi kepemilikan, mengganti
dirut, menghadirkan komisaris independen, menyusun sistem penggajian, dan
sebagainya. Juga penerapan prinsip "normatif" tata kelola korporasi,
seperti transparansi, independensi, kewajaran, akuntabilitas, dan
responsibilitas perlu digalakkan. Namun, tak ada artinya mengembangkan micro-governance
tanpa membangun macro-governance.
D.
Islam dan Good Corporate Governance
Sebutan Good Corporate
Governance merupakan sebutan baru baik bagi ilmu maupun agama manapun
termasuk ajaran Islam yang telah muncul sebelum kehidupan modern. Karena
terciptanya sebutan itu terjadi dalam kehidupan modern ini. Namun nilai, isi,
dan tujuan Good Corporate Governance telah dibicarakan dalam Alqur’an
dan Hadis. Namun pembicaraan sumber-sumber Islam itu tentu saja tidak terhimpun
menjadi satu, akan tetapi seperti dalam Alqur’an terpencar-pencar. Meskipun
begitu, ajaran moral Alqur’an yang berpencar-pencar itu tidak saling
bertentangan satu sama lain melainkan saling menjelaskan dan mendukung.
Meskipun
istilah corporate governance masih baru, tetapi konsepnya terdapat dalam
ajaran Islam yaitu di dalam al-Qur’an dan Hadis.
·
Al-Qur-an dalam
surar al-Baqarah: 282-283, tentang proses transaksi secara bertahap. Ayat ini
menerangkan mengenai arti pentingnya menjaga catatan secara tepat sehingga
tidak ada pihak yang mendapatkan perlakuan ketidakadilan.
·
Pelajaran dari ayat
ini adalah dibutuhkannya transparency dan disclosure dalam
perjanjian bisnis.
·
Kedua hal itu
merupakan prinsip pokok yang penting bagi corporate governance
kontemporer.
Dalam Alqur’an, tindakan adalah
lebih penting daripada sekedar kata-kata, ceramah, jargon, atau ajaran seperti
ayat yang artinya mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Good
Corporate Governance harus diwujudkan melalui tindakan dan perbuatan nyata.
Karena hanya ketika tindakan itu terlihat lebih kuat darpada pengetahuannya,
maka budaya good corporate akan benar-benar melindungi semua stakeholders
(pemegang amanah) yang ada di seluruh dunia perusahaan bisnis.
Terdapat beberapa hal yang
sangat berkaitan erat dengan konsep corporate governance, yaitu
khilafah, accountability, reliability, transparency dan
juga trustworthiness, balance sheets, religious audit, dan
syura. Konsep itu berasal dari pandangan dunia Islam.Di
bawah ini, hal-hal itu akan dijelaskan secara terperinci.
a.
Khilafah
Khilafah menyadarkan atas
peranan, kedudukan, dan tanggung jawab yang dimiliki oleh manusia pada diri
mereka sendiri dan ummat secara keseluruhan. Menurut Abdalati (1994), khilafah
merupakan hubungan antara manusia dan Tuhan, sesama manusia, manusia dengan
ciptaan yang lain. Hal ini berarti, setiap manusia mempunyai tanggung jawab
kepada semua Muslim atas seluruh perbuatannya dalam memanfaatkan seluruh sumber
daya yang telah dikaruniakan Allah swt.
Dalam hal ini ada hadis Nabi
Muhammad Saw yang menyatakan: masing-masing di antara kalian adalah pemimpin
dan masing-masing pemimpin bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dalam
perlindungannya. Jika hadis ini dipahami dalam konteks perjanjian bisnis modern, maka semua
orang yang terlibat dalam transaksi bisnis bertanggung jawab atas semua
tindakannya.
Pada intinya, manusia telah
ditugaskan untuk memelihara dunia milik Allah ini (QS. 2:30). Pada Hari Perhitungan,
setiap manusia bertanggung jawab atas perbuatannya selama hidup di dunia yang
menentukan apakah mereka masuk surga ataukah neraka (Haniffa, 2002). Prinsip
khilafah ini menimbulkan beberapa tindak lanjut tanggung jawb yaitu
persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetiaan terhadap
sumber daya-sumber daya Allah (trustees for God’s resources), gaya hidup
yang sederhana (humble lifestyles) dan kebebasan manusia (human
freedom in Islam) (Chapra, 1992).
Dalam menata perusahaan (corporation),
manusia dipandang sebagai bagian terpenting dari sistem sehingga dia bisa
bekerja sesuai dengan arahan yang benar. Karena manusia adalah shareholder,
creditor, auditor, regulator, manager juga director,
maka hal itu berarti bahwa manusia memainkan peranan tertinggi dalam mengatur
dan menyebabkan pencapaian visi dan misi perusahaan. Sehingga persoalan manusia
sehubungan dengan nilai, etika, dan perilaku yang bermoral perlu dimengerti
dengan baik terlebih dahulu dengan maksud untuk memastikan terpenuhinya kehendak
masyarakat. Pokok persoalannya antara lain mendukung kepercayaan, menjaga
integritas, menggunakan transparansi dan perhitungan atau accountabilitas,
mengatur sumber daya secara tepat, peduli dan memperhatikan lingkungan.
Kegagalan dalam menjaga nilai-nilai tersebut dapat mempersulit persoalan
perusahaan dan orang banyak secara luas.
b.
Perhitungan (Accountability)
Dalam hal accountability
orang-orang Muslim mantap hatinya bahwa mereka akan diperhitungkan mengenai apa
yang mereka perbuat di dunia.pada Hari Akhir (kehidupan setelah mati). Dalam
Islam, orang-orang Muslim harus mengikuti kehendak Allah Swt dengan mencari
rida-Nya dalam seluruh kegiatannya. Dalam memandang penerapan corporate
governance dari perspektif Islam, maka direktor perusahaan, manajemen juga
auditor seharusnya menunjukkan tugas profesional mereka dengan tujuan memuaskan
kebutuhan-kebutuhan shareholders dan Allah Swt. c. Reliability
(terpercaya, amanah)
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menekankan reliability (amanah); 2: 283, 4: 58, 27, 49, dan 61, 12: 11, 64 dan 66, 23: 8, 27: 39, 33: 72, 65: 3, 70: 32, 81: 21.
d.
Transparansi
Keterangan yang terpercaya (reliable
information) harus diberikan secara benar dan lengkap termasuk rincian atas
semua transaksi yang diusahakan.QS. 11:84-85, Al-Baqarah 282, pada permualaan
Ayat). Ayat ini menyatakan bahwa setiap transaksi harus ditulis untuk
menghindari ketidakadilan.
e.
Trustworthiness
Konsep trustworthiness
telah dinyatakan secra gamblang pada QS. Al-Anfal: 27: Trustworthiness juga
sejalan dengan konsep accountability yang mana manusia pada Hari Pengadilan
Nanti diliputi rasa takut bahwa dia akan diperhitungkan atau dihisap oleh Allah
Swt. Karena trustworthiness adalah salah satu nilai kebajikan yang
sangat luhur daam Islam, maka setiap pribadi dalam sebuah organisasi dituntut
oleh dirinya sendiri untuk mematuhi tindakan etika atau yang bermoral sekalipun
dalam menjalankan kegiatan-kegiatan perdagangan mereka.
E.
Kesimpulan
Bagaimanapun, dalam konsep Good
Corporate Governance (GCG) peranan Board Governance sangat
menentukan keberhasilan penerapannya. Implementasi Good Corporate Governance
oleh Board Governance akan menjadi lebih mudah menhantarkan perusahaan
sukses untuk mencapai tujuannya. Namun demikian, semangat yang tinggi di dalam
membangun Corporate Governance ini hendaklah jangan kehilangan momentum.
Adanya keluhan bahwa hasil yang diperoleh dari implementasi Corporate Governance
masih belum sesuai dan merupakan suatu indikasi bahwa model Corporate
Governance yang diadopsi dari manapun perlu diadakan
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi lokal perusahaan-perusahaan
di Indonesia. Demikian juga dalam pelaksanaan etika atau nilai-nilai.karena
standar etika setiap masyarakat dalam hal-hal tertentu pasti tidak sama,
sehingga perlu juga adanya penyesuaian dan penitikberatan sesuai dengan
lingkungan mereka masing-masing.
Daftar
Pustaka
Anthony
Gidden (1992), Capitalismeand Modern Social Theory, Cambridge: Cambridge
University Press.
Beasley
Mark S and Petroni Kathy R, 2001, Board Independence and Audit-Firm Type,
Auditing: A Journal of Practice and Theory”, Vol 20., No.1.
Bloedorn,
J. D., and P. T. Chingos (1991), Executive Pay and Company Performance.
Scottsdale, AZ: American Compensation Association.
Chapra,
U.M (1992), Islam and the Economic Challenge, Leicester, UK: The Islamic
Foundation.
Clarke,
Thomas. “The Contribution of Nonexecutive directors to the effectiveness of
Corporate Governance”. Career Development International. Vol. 3 No.
3,1998.
Ethiopis
Tatara dan Robert J. Peterson (2004), the True Value of Corporate Governance,
dalam Global Corporate Governance Guide 2004: Best Practice in the Boardroom,
London:
International Corporate Governance Network.
Haniffa
R (2002), Social Reporting Disclosure: An Islamic Perspective,
Indonesian Management and Accounting Research, Vol. 1 (2): pp. 128-146
Harian
Umum KOMPAS, Senin, 30 Mei 2005
Kakabadse,
Nada Korac and Andrew K Kakabadse and Alexander Kouzmin. “Board Governance
and Company Performenace: Any Correlations ?”. MCB University Press, 2001.
Kamali, M. H. (1989) “Source, Nature and
Objectives of Shariah.” The Islamic Quarterly. Komite Nasional Kebijakan
Good Corporate Governance. “Pedoman Good Corporate
Governance”
Lippert,
Robert L. “Multinationality, CEO Compensation, and Corporate Governance:
Some Empirical Evidence”. Corporate Governance, 1999.
Lukviarman,
Niki. “Key Characteristics of Corporate Governance: The Case of Indonesia”,
Working Paper Series, Graduate School of Business, Curtin University of
Technology, September, 2001.
M.
A., Shaikh (1987), “Ethics of Decision Making in Islamic and Western
Environments,” The American Journal of Islamic Social Sciences 5, No. 1.
Sang-Woo
Nam dan Il Chong Nam (2004), Corporate Government in Asia: Recent Evidence
from Indonesia, Republic of Korea, Malaysia and Thailand, Tokyo: Asian Development
Bank Institute.
Shahul
(2000) “The need for Islamic accounting: Perceptions of its Objectives and
Characteristics by Muslim Accountants and Accounting Academics”, PhD
Thesis, University of Dundee.
Shivdasani,A.,
1993., Board Composition, Ownership Structure, and Hostile Takeovers., Journal
of Accounting and Economics, 16:167- 198.
Steirnber
Richard M., and Bromilow Chaterine L., 2000., Audit Committee
Effectiveness-What Works Best., PricewaterhouseCoopers.
Steirnber
Richard M., and Bromilow Chaterine L., 2000., Corporate Governance and the
Board-What Works Best., Pricewaterhouse Coopers.
Syakhroza,
Akhmad., 2002., Tiga Pondasi Memahami Corporate Governance., Bisnis
Indonesia., 11 Juli 2002.
Turnbull
Shann., 1997., Corporate Governance: Its Scope, Concern and Theories., Corporate
Governance, Vol.5., No.4, October.
Vanasco,
Rocco R. “The Audit Committee: An International Perspective”. Managerial
Auditing Journal. Vol 9 No. 8, 1994. Vinten, Gerald. “Corporate Governance:
The Need to Know”. Industrial and Commercial Training. Vol.32 No. 5,
2000.
World
Bank. “Corporate Governance: A Framework for Implementation”. 1999.
Zhuang
Juzhong, David Edwands. And Ma Virginita A Capulong. “Corporate Governance
and Finance in East Asia: A Study of Indonesia, Republic of Korea, Malaysia,
Philippines, and Thailand”. Volume 2. Asian Development Bank,1997.
14
No comments:
Post a Comment