Name

Email *

Message *

GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF ISLAM








             Oleh: Nalim, S.Si., M.Si

Abstract: The problems of Good Corporate Governance/GCG in Indonesia have wide responses, to some extent of its aplications, from the divergent parties of both theorists and practitioners those are both in the government or the private sectors. For instance, the policy of Badan Usaha Milik Negara/BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 on the application of Good Corporate Governance to the state commercial institution (BUMN), the formation of Corporate Governance committee, and banking legal codes. The prevailing corrupt cases, however, take place towards both the state or private commercial institutions such as banking. It is necessary to take into account and settle the problems of GCG in which the the entire parties of varied disciplines are involved. This paper thus point out the Islamic ethics in terms of global concept of GCG nowadays and treat the issue how to practice it that spreads over the different places in the Koran and the prophetic tradition in order to be integrated prior to the context of Indonesia.

Kata kunci : Good Corporate Governance, Islam, al-Qur’an, Hadits, Indonesia

A. Pendahuluan

Di Indonesia, pembahasan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) menjadi sangat penting karena momentum krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi pada 1997 yang selanjutnya diikuti dengan gerakan reformasi yang menghasilkan kesadaran akan pemberantasan korupsi. Bahkan, salah satu biang krisis ekonomi dan keuangan itu adalah terlalu buruknya corporate governance yang terdapat pada perbankan Indonesia. Dari krisis itu pulalah, isu corporate governance menjadi kuat dan menyebar ke semua lapisan masyarakat. Saat ini, isu itu telah sampai pada tahap penerapan, baik oleh kalangan akademisi maupun praktisi yang berada baik di sektor swasta maupun pemerintah. Di tubuh pemerintahan, misalnya, telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara. Selain itu, pemerintah telah mendorong lebih jauh tata kelola perusahaan yang baik itu, antara lain, melalui Komite Corporate Governance, UU

Penulis adalah Dosen STAIN Pekalongan

Perbankan, UU Pasar Modal, UU Persero, Standar Akuntansi, dan Komite Pemantau Persaingan Usaha. Di tubuh BUMN, terjadi pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan seperti komisaris independen, komite audit, komite renumerasi, komite resiko, dan sekretaris perusahaan yang merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan efektifitas “Corporate Governance.” Namun, kasus korupsi yang melanda setiap badan usaha milik pemerintah maupun swasta seperti perbankan, juga semakin terkuak dan terlihat muncul ke permukaan. Sehingga konsep “Good Corporate Governance” yang dapat diterapkan secara efektif masih harus menjadi kajian ulang.


Sesungguhnya persoalan “Corporate Governance (CG)” baik yang dijalankan oleh pemerintah maupun swasta merupakan persoalan yang dapat didefinisikan dari berbagai disiplin ilmu misalnya ekonomi, manajemen, keuangan, akuntansi, hukum, psikologi, filsafat bahkan dari ilmu agama (Shann, 1997: 181-185). Oleh karena itu, tulisan ini akan membicarakan Good Corporate Governance dari sudut pandang Islam. Di sini, moral Islam yang berpencar-pencar pada beberapa tempat pada al-Qur’an dan Hadis akan dijelaskan secara berkaitan sesuai dengan problem Good Corporate Governance yang baru muncul, terutama sebagai istilah, dalam kehidupan modern ini. Jadi, uraian mengenai GCG akan digunakan untuk mendasari upaya penjelasan yang dimiliki Islam mengenainya dan bagaimana mengaplikasikannya dalam konteks masyarakat Indonesia.


B. Pengertian dan Signifikansi Corporate Governance

Pengertian sederhananya, corporate governance adalah berbicara mengenai bagaimana perusahaan melaksanakan tanggung jawabnya kepada pemegang saham (shareholders) dan pemegang amanah (stakeholders) lainnya. Corporate governance pada dasarnya merupakan mekanisme bagaimana sumber daya perusahaan dialokasikan menurut suatu aturan ‘hak’ dan ‘kuasa’ tertentu. Ia mengarahkan aksi individu dalam organisasi dan kegiatan rutin tertentu pada suatu muara. Muara itu bisa berupa menghasilkan laba sebesar-besarnya dan juga etika sosial.


Ini adalah perkara strukturasi (Gidden, 1992), yaitu tatanan atau struktur macam apa yang menggerakkan aksi para individu dan kegiatan rutin tertentu dalam organisasi. Sebaliknya, tatanan macam apa yang kemudian terbentuk akibat dari aksi individu dan kegiatan berulang tersebut. Dengan demikian, corporate governance adalah ‘sumber’ sekaligus ‘hasil’ dari aksi individu dan rutin tertentu dalam organisasi.

Dari penjelasan di atas, tidak heran terdapat beberapa definisi yang berbeda yang membicarakan CG secara eksplisit, meskipun menurut implisit dan isinya adalah sama. Turnbull (1997) mendefinisikan corporate governance sebagai berikut:

Corporate governance describes all the influences affecting the institutional processes including those for appointing the controllers and/or regulators, involved in organizing the production and sale of goods and services

Turnbull lebih menekankan bagaimana melakukan tata kelola dalam sebuah organisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepada proses organisasi dalam rangka menghasilkan dan menjual barang atau jasa. Disamping itu, Turnbull juga berpendapat bahwa penunjukkan “controllers dan regulators” merupakan juga substansi penting dalam membangun Good Corporate Governance.


 Di sini, Turnbull melihat bahwa corporate governance berfokus kepada bagaimana organisasi itu bisa berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu, Syakhroza (2002: 1-5) telah mendefinisikan corporate governance secara lebih gamblang, mudah, dan jelas dengan mengatakan bahwa:

“Corporate governance adalah suatu sistim yang dipakai “Board” untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi (directing, controlling, and supervising) pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif (E3P) dengan prinsip-prinsip transparan, accountable, responsible, independent, dan fairness (TARIF) dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Dalam praktiknya, persoalan corporate governance bukanlah perkara sederhana, karena menyangkut banyak dimensi yang mencakup semua perilaku organisasi. Seperti, dimensi hukum, finansial, ekonomi, kelembagaan, dan dimensii manajerial.


Oleh karena itu, manfaat GCG terbagi dalam tiga bidang (Tatara dan Peterson, 2004: 53): agar dapat membuat keputusan yang lebih baik (better decision makingi), pergantian harga stok dan biaya modal yang lebih rendah (lower stock price volatility and cost of capital), keterlibatan stakeholder secara lebih baik (better stakeholder engagment). Pada kenyataannya, Corporate Governance sangat dibutuhkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan shareholder dan untuk membatasi sikap dan perilaku oportunis melalui manajemen (Tatara dan Peterson, 2004: 53). Demikian juga, Good Corporate Governance dibutuhkan untuk menjaga pencabutan hak milik shareholder oleh manajer dan untuk memantapkan manajemen perusahaan yang dimiliki oleh banyak pemilik secara efisien (Woo Nam dan Chong Nam, 2004: 12).


Konsep mengenai corporate governance menjadi perbincangan hangat sebagai buah kesadaran atas pentingnya kebutuhan untuk melindungi hak-hak semua stakeholders (pemegang saham), termasuk minority shareholders (pemegang amanah).


Dalam sejarah Indonesia, pemerintah berhasil membangun perusahaan-perusahaan besar yang berguna bagi pengembangan ekonomi negara tetapi gagal menciptakan mekanisme tata kelola (governance) yang sehat yang sebenarnya dapat digunakan untuk mengatasi secara efektif problem-problem yang muncul dari adanya perbedaan kepemilikan (ownership) dan pengawasan (control). Oleh karena itu, corporate governance yang rapuh adalah salah satu biang krisis ekonomi dan keuangan di Indonesia pada 1997/1998.


C. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance

Dalam makalahnya, Syakhroza mengatakan secara tegas bahwa Corporate Governance terdiri dari 6 (enam) elemen yaitu:

1.  Memusatkan perhatian kepada Board

2.  Peraturan dan Hukum sebagai alat untuk mengarahkan dan mengendalikan.

3.  Pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif (E3P).

4.  Transparan, accountable, responsible, independent, dan fairness (Tarif).

5.  Tujuan organisasi.

6.  Strategic control


a. Fokus kepada Board

Jika kita berbicara tentang corporate governance ataupun government governance, maka fokus pembahasan adalah mengenai Board (Maassen and Van den Bosch, 1999; Turnbull, 1997; Fama, 1980; Fama and Jensen, 1983). Pertanyaannya adalah siapakah board itu? Board adalah pucuk pimpinan suatu organisasi yang bertanggungjawab untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi pemakaian sumber daya agar supaya selaras dengan tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

Dalam konteks perusahaan Indonesia, maka yang dimaksud dengan board adalah Dewan Komisaris dan Dewan Direksi, hal ini sebagai konsekuensi Negara Indonesia telah mengadopsi dan menggunakan undang-undang persero yang menggunakan sistim “dual board”. Sedangkan dalam konteks Institusi Pemerintah, katakanlah Pemerintahan Indonesia, maka yang dimaksud dengan board adalah Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada tataran level yang lebih rendah lagi, yang dimaksud dengan board adalah Kepala Daerah dan DPRD. Kembali kepada governance dalam konteks perusahaan, mengapa CG harus fokus kepada board? Jawabannya adalah karena dewan komisaris dan dewan direksi adalah yang bertanggungjawab dan memiliki otoritas penuh dalam membuat keputusan tentang bagaimana melakukan pengarahan, pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan sumber daya sesuai dengan tujuan perusahaan. Dalam melakukan pengelolaan sumber daya ini tentu saja harus memenuhi kaidah-kaidah efisien, efektif, ekonomis, dan produktif –E3P dengan selalu berorientasi kepada tujuan perusahaan. Steinberg dan Bromilow (2000) menyatakan secara tegas bahwa good corporate governance akan bisa dibangun dalam suatu perusahaan apabila perusahaan tersebut memiliki strategy dan planning (lazim disebut strategic planning) yang dapat diimplementasikan secara secara terukur dari waktu ke waktu dan juga lihat kembali definisi tentang CG). Apabila strategy dan planning ini terukur secara jelas maka akan memudahkan bagi board untuk mengukur dan memantau kinerja perusahaan secara berkesinambungan.

Perencanaan, pemantauan, penilai-Perbankan belum menerapkan prinsip-prinsip GCG, dan pengawasan – P4 atas pengelolaan sumber daya dalam suatu perusahaan apakah telah sesuai dengan tujuan perusahaan dengan tetap berpijak kepada kaidah-kaidah E3P. Oleh karena itu maka indikator-indikator kinerja tersebut harus disusun dan ditetapkan secara adil dan bertanggung jawab – fariness and accountable, kinerja tersebut harus dikomunikasikan secara terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan - transparan and responsible, dan akhirnya dalam melakukan pengelolaan sumber daya keputusan yang dibuat harus bebas - independent dari intervensi pihak manapun.


b. Hukum dan Peraturan

           Suatu organisasi membutuhkan suatu perangkat hukum dan peraturan yang ditujukan kepada board (dalam konteks Indonesia terdiri dari dewan komisaris dan dewan direksi) untuk melindungi dan memagari agar supaya keputusan yang dibuat oleh board bisa independen (Holland, 1998; Maassen and Van den Bosch, 1999), pengelolaan sumber daya perusahaan menjadi optimal. Secara tidak berlebihan jika banyak para peneliti CG menyatakan bahwa inti disiplin ilmu yang membentuk Corporate Governance adalah hukum, antara lain Selznick, Burel & Morgan, Fama and Jensen (Selznick, 1948; Burel & Morgan, 1979; Fama and Jensen, 1983).

Pengertian hukum di sini tidak hanya perangkat hukum yang berasal dari luar perusahaan saja seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pidana, Undang-Undang Perseroan, Undang- Undang Perbankan, Standar Akuntansi, Peraturan Bapepam dan Pasar Modal, dsbnya tetapi juga produk hukum internal perusahaan seperti Kebijakan Perusahaan, Prosedur Standar Operasi, dsbnya.

Produk hukum dalam membangun Corporate Governance harus di taati tanpa mengganggu Board dan Manajemen Perusahaan dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Misalnya, kepedulian perusahaan terhadap pembangunan masyarakat sekitarnya (community development) tidak boleh mengganggu kepada pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kepedulian terhadap masyarakat sekitar ini adalah sebagai konsekuensi perusahaan sebagai open system yang harus menjaga keseimbangan kepentingan dengan stakeholders (Cadbury, 1999; Jones, 1995).


c. Pengelolaan Sumber Daya dengan Kaidah E3P

Jika kita membicarakan penegakkan Corporate Governance maka perhatian kita bagaimana Board mengelola sumber daya perusahaan?

Apakah Board telah mengalokasikan sumber daya ini secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif (E3P)? Adanya perangkat hukum dan peraturan adalah sebagai upaya untuk memberikan pedoman yang berisi petunjuk dan batasan kepada Board untuk bertindak lebih independen. Board Governance yang baik tentu saja akan berupaya secara terus menerus bagaimana mengalokasikan sumber daya secara maksimal dalam kerangka pencapaian tujuan perusahaan (Kakabadse, and Kouzmin, 2001; Brickley and James, 1987; Mayers, 1987).


d. Tujuan Perusahaa

          Pentingnya penegakkan good corporate governance adalah merupakan cerminan keseriusan Board dalam memberikan komitmen kepada pencapaian tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. Kakabadse dan Kouzmin telah secara tegas menyimpulkan bahwa Board Governance yang telah tertata dengan baik akan selalu “concern” terhadap bagaimana operasional perusahaan yang sejalur dengan tujuan organisasi.

Untuk itu, maka Board akan menyiapkan suatu perangkat pengukuran kinerja yang link up dengan tujuan organisasi yang dipakai oleh Board sebagai alat untuk melakukan pemantauan dan pengendalian kinerja perusahaan (Mayer, 1997; Macmillan and Downing, 1999; Sternberg and Bromilow, 2000; Kakabadse, Kakabadse, and Kouzmin, 2001). Keterkaitan yang erat antara CG dan tujuan organisasi ini, bahkan beberapa penulis menyebutkan sebagai satu kesatuan.

Pada umumnya prinsip-prinsip Corporate Governance terdiri dari 5 (lima) yaitu

Transparansi, Accountability, Responponsibility, Independency, dan Fairness yang disingkat dengan TARIF. Sementara itu, Forum for Corporate Governance in Indonesia yang diambil dari OECD menyebutkan ada 4 (empat) yaitu sebagai berikut: fairness, transparency, accountability,dan responsibility.


e.Strategic Control

Dari penjelasan elemen Corporate Governance sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa Corporate Governance merupakan salah satu instrumen strategic control perusahaan (Fama and Jensen, 1983; Mayers, Shivdasani and Smith, 1997). Fokus kepada Board dan berorientasi kepada tujuan perusahaan adalah menunjukkan bahwa CG merupakan alat pengendalian strategis perusahaan.


f. Kerangka Mekanisme Kontrol pada Corporate Governance

Pembagian mekanisme pengendali corporate governance menjadi 2, eksternal dan internal, ini sejalan dengan kerangka corporate governance menurut World Bank yang tertuang dalam publikasinya berjudul, “Corporate Governance: A Framework for Implementation”.

Mekanisme pengendalian eksternal tidak lagi hanya berupa pasar modal saja, tetapi juga perbankan yang memberi suntikan dana, masyarakat selaku konsumen, supplier, tenaga kerja, ataupun komunitas lokal, pemerintah selaku regulator, serta stakeholder lainnya. Adapun mekanisme pengendalian internal akan diperluas pembahasannya tidak lagi dewan komisaris saja, tetapi juga komite-komite di bawahnya, dewan direksi, sekretaris perusahaan, dan manajemennya. Perlu diperhatikan lebih lanjut, bahwa pasar sebagai suatu mekanisme tersendiri yang dapat melakukan fungsi pengendali corporate governance adalah termasuk dalam mekanisme pengendali eksternal. Sementara shareholder (pemegang saham), meskipun ia adalah bagian pembentuk pasar, dikategorikan sebagai mekanisme pengendali internal. Pengelompokan suatu elemen menjadi internal dan eksternal mungkin agak membingungkan. Tetapi jika dilihat dengan lebih seksama akan nampak bahwa komponen yang termasuk dalam kategori internal adalah komponenkomponen yang bersinggungan langsung dengan proses pengambilan keputusan perusahaan. Mereka terdiri dari manajemen yang berhubungan dengan pengambilan keputusan operasional perusahaan, dan dewan direksi serta lainnya (pemegang saham dan dewan komisaris) yang berhubungan dengan keputusan-keputusan perusahaan yang sifatnya lebih strategis.

Namun demikian, pembagian tersebut masih terasa arbitrer dan tidak memiliki dasar ideologisnya. Bagaimana halnya dengan kreditur (perbankan)? Sering kali terjadi di beberapa negara tertentu kreditur memiliki kekuatan yang cukup signifikan mempengaruhi ataupun terlibat langsung dalam pengambilan keputusan perusahaan. Bahkan di Jerman dan Jepang, dimana sistem perbankannya sangat kuat, Bank bisa saja menunjuk orang-orangnya untuk menjabat sebagai direktur di perusahaan debitur. Tetapi dalam gambar di atas, dan juga yang kemudian digunakan dalam tulisan ini, perbankan dikategorikan sebagai pihak eksternal. Dasar pemikirannya adalah bahwa biasanya suatu perusahaan (di Indonesia khususnya) memilih untuk meminjam dari bank sebagai sumber pembiayaannya dan bukan menjual saham karena mempertimbangkan faktor kepemilikan dan kekuasaan pemilik untuk turut menentukan arah kebijakan perusahaan. Dengan melakukan pinjaman, dana tambahan tetap akan dapat diperoleh tetapi pemilik lama tidak perlu berbagi kepemilikan dan kekuasaan dengan pemberi dana yang baru. Dengan kata lain, kreditur, walaupun memiliki hak untuk menentukan arah kebijakan perusahaan, tetapi tetap bukan pemilik yang memegang kendali perusahaan.
        
        Prasetyantoko menjelaskan bahwa selama ini, tata kelola korporasi sering hanya direduksi dalam pengertian mikro, seperti didefinisikan dalam prinsip-prinsip tata kelola, seperti transparansi, independensi, kewajaran, akuntabilitas, dan responsibilitas (KOMPAS, 30 Mei 2005). Ada pula penilaian tata kelola korporasi, masih dalam skala mikro, dari struktur kepemilikan (ownership structure), kehadiran komisaris independen atau sistem penggajian eksekutif.

Pertama-tama, tata kelola korporasi merupakan konsep makro. Kita mengira model perusahaan negara (BUMN) dan perusahaan keluarga menjadi masalah utama inefisiensi sebagaimana terjadi di negara kita. Padahal, BUMN lazim di Singapura, sementara di Taiwan dan Hongkong model perusahaannya berbasis keluarga. Mengapa mereka tetap efisien dan kita tidak? Jawabannya, mereka memiliki sistem nasional yang baik dalam tata kelola korporasi. Tata kelola korporasi tidak semata ditentukan oleh kualitas tiap perusahaan, tetapi terlebih oleh sistem makro yang melingkupinya.

Dua hal perlu diperhatikan dalam membangun tata kelola korporasi. Secara mikro perlu dilakukan penataan ulang, seperti privatisasi dan divestasi guna memengaruhi kepemilikan, mengganti dirut, menghadirkan komisaris independen, menyusun sistem penggajian, dan sebagainya. Juga penerapan prinsip "normatif" tata kelola korporasi, seperti transparansi, independensi, kewajaran, akuntabilitas, dan responsibilitas perlu digalakkan. Namun, tak ada artinya mengembangkan micro-governance tanpa membangun macro-governance.


D. Islam dan Good Corporate Governance

Sebutan Good Corporate Governance merupakan sebutan baru baik bagi ilmu maupun agama manapun termasuk ajaran Islam yang telah muncul sebelum kehidupan modern. Karena terciptanya sebutan itu terjadi dalam kehidupan modern ini. Namun nilai, isi, dan tujuan Good Corporate Governance telah dibicarakan dalam Alqur’an dan Hadis. Namun pembicaraan sumber-sumber Islam itu tentu saja tidak terhimpun menjadi satu, akan tetapi seperti dalam Alqur’an terpencar-pencar. Meskipun begitu, ajaran moral Alqur’an yang berpencar-pencar itu tidak saling bertentangan satu sama lain melainkan saling menjelaskan dan mendukung.

       Meskipun istilah corporate governance masih baru, tetapi konsepnya terdapat dalam ajaran Islam yaitu di dalam al-Qur’an dan Hadis.

·        Al-Qur-an dalam surar al-Baqarah: 282-283, tentang proses transaksi secara bertahap. Ayat ini menerangkan mengenai arti pentingnya menjaga catatan secara tepat sehingga tidak ada pihak yang mendapatkan perlakuan ketidakadilan.

·        Pelajaran dari ayat ini adalah dibutuhkannya transparency dan disclosure dalam perjanjian bisnis.

·        Kedua hal itu merupakan prinsip pokok yang penting bagi corporate governance kontemporer.

Dalam Alqur’an, tindakan adalah lebih penting daripada sekedar kata-kata, ceramah, jargon, atau ajaran seperti ayat yang artinya mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Good Corporate Governance harus diwujudkan melalui tindakan dan perbuatan nyata. Karena hanya ketika tindakan itu terlihat lebih kuat darpada pengetahuannya, maka budaya good corporate akan benar-benar melindungi semua stakeholders (pemegang amanah) yang ada di seluruh dunia perusahaan bisnis.

Terdapat beberapa hal yang sangat berkaitan erat dengan konsep corporate governance, yaitu khilafah, accountability, reliability, transparency dan juga trustworthiness, balance sheets, religious audit, dan syura. Konsep itu berasal dari pandangan dunia Islam.Di bawah ini, hal-hal itu akan dijelaskan secara terperinci.

a. Khilafah

Khilafah menyadarkan atas peranan, kedudukan, dan tanggung jawab yang dimiliki oleh manusia pada diri mereka sendiri dan ummat secara keseluruhan. Menurut Abdalati (1994), khilafah merupakan hubungan antara manusia dan Tuhan, sesama manusia, manusia dengan ciptaan yang lain. Hal ini berarti, setiap manusia mempunyai tanggung jawab kepada semua Muslim atas seluruh perbuatannya dalam memanfaatkan seluruh sumber daya yang telah dikaruniakan Allah swt.

Dalam hal ini ada hadis Nabi Muhammad Saw yang menyatakan: masing-masing di antara kalian adalah pemimpin dan masing-masing pemimpin bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dalam perlindungannya. Jika hadis ini dipahami dalam konteks perjanjian bisnis modern, maka semua orang yang terlibat dalam transaksi bisnis bertanggung jawab atas semua tindakannya.


Pada intinya, manusia telah ditugaskan untuk memelihara dunia milik Allah ini (QS. 2:30). Pada Hari Perhitungan, setiap manusia bertanggung jawab atas perbuatannya selama hidup di dunia yang menentukan apakah mereka masuk surga ataukah neraka (Haniffa, 2002). Prinsip khilafah ini menimbulkan beberapa tindak lanjut tanggung jawb yaitu persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetiaan terhadap sumber daya-sumber daya Allah (trustees for God’s resources), gaya hidup yang sederhana (humble lifestyles) dan kebebasan manusia (human freedom in Islam) (Chapra, 1992).


Dalam menata perusahaan (corporation), manusia dipandang sebagai bagian terpenting dari sistem sehingga dia bisa bekerja sesuai dengan arahan yang benar. Karena manusia adalah shareholder, creditor, auditor, regulator, manager juga director, maka hal itu berarti bahwa manusia memainkan peranan tertinggi dalam mengatur dan menyebabkan pencapaian visi dan misi perusahaan. Sehingga persoalan manusia sehubungan dengan nilai, etika, dan perilaku yang bermoral perlu dimengerti dengan baik terlebih dahulu dengan maksud untuk memastikan terpenuhinya kehendak masyarakat. Pokok persoalannya antara lain mendukung kepercayaan, menjaga integritas, menggunakan transparansi dan perhitungan atau accountabilitas, mengatur sumber daya secara tepat, peduli dan memperhatikan lingkungan. Kegagalan dalam menjaga nilai-nilai tersebut dapat mempersulit persoalan perusahaan dan orang banyak secara luas.


b. Perhitungan (Accountability)

Dalam hal accountability orang-orang Muslim mantap hatinya bahwa mereka akan diperhitungkan mengenai apa yang mereka perbuat di dunia.pada Hari Akhir (kehidupan setelah mati). Dalam Islam, orang-orang Muslim harus mengikuti kehendak Allah Swt dengan mencari rida-Nya dalam seluruh kegiatannya. Dalam memandang penerapan corporate governance dari perspektif Islam, maka direktor perusahaan, manajemen juga auditor seharusnya menunjukkan tugas profesional mereka dengan tujuan memuaskan kebutuhan-kebutuhan shareholders dan Allah Swt. c. Reliability (terpercaya, amanah)

       Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menekankan reliability (amanah); 2: 283, 4: 58, 27, 49, dan 61, 12: 11, 64 dan 66, 23: 8, 27: 39, 33: 72, 65: 3, 70: 32, 81: 21.

d. Transparansi

Keterangan yang terpercaya (reliable information) harus diberikan secara benar dan lengkap termasuk rincian atas semua transaksi yang diusahakan.QS. 11:84-85, Al-Baqarah 282, pada permualaan Ayat). Ayat ini menyatakan bahwa setiap transaksi harus ditulis untuk menghindari ketidakadilan.


e. Trustworthiness

Konsep trustworthiness telah dinyatakan secra gamblang pada QS. Al-Anfal: 27: Trustworthiness juga sejalan dengan konsep accountability yang mana manusia pada Hari Pengadilan Nanti diliputi rasa takut bahwa dia akan diperhitungkan atau dihisap oleh Allah Swt. Karena trustworthiness adalah salah satu nilai kebajikan yang sangat luhur daam Islam, maka setiap pribadi dalam sebuah organisasi dituntut oleh dirinya sendiri untuk mematuhi tindakan etika atau yang bermoral sekalipun dalam menjalankan kegiatan-kegiatan perdagangan mereka.


E. Kesimpulan

Bagaimanapun, dalam konsep Good Corporate Governance (GCG) peranan Board Governance sangat menentukan keberhasilan penerapannya. Implementasi Good Corporate Governance oleh Board Governance akan menjadi lebih mudah menhantarkan perusahaan sukses untuk mencapai tujuannya. Namun demikian, semangat yang tinggi di dalam membangun Corporate Governance ini hendaklah jangan kehilangan momentum. Adanya keluhan bahwa hasil yang diperoleh dari implementasi Corporate Governance masih belum sesuai dan merupakan suatu indikasi bahwa model Corporate Governance yang diadopsi dari manapun perlu diadakan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi lokal perusahaan-perusahaan di Indonesia. Demikian juga dalam pelaksanaan etika atau nilai-nilai.karena standar etika setiap masyarakat dalam hal-hal tertentu pasti tidak sama, sehingga perlu juga adanya penyesuaian dan penitikberatan sesuai dengan lingkungan mereka masing-masing.


Daftar Pustaka

Anthony Gidden (1992), Capitalismeand Modern Social Theory, Cambridge: Cambridge University Press.
Beasley Mark S and Petroni Kathy R, 2001, Board Independence and Audit-Firm Type, Auditing: A Journal of Practice and Theory”, Vol 20., No.1.

Bloedorn, J. D., and P. T. Chingos (1991), Executive Pay and Company Performance. Scottsdale, AZ: American Compensation Association.

Chapra, U.M (1992), Islam and the Economic Challenge, Leicester, UK: The Islamic Foundation.

Clarke, Thomas. “The Contribution of Nonexecutive directors to the effectiveness of Corporate Governance”. Career Development International. Vol. 3 No. 3,1998.

Ethiopis Tatara dan Robert J. Peterson (2004), the True Value of Corporate Governance, dalam Global Corporate Governance Guide 2004: Best Practice in the Boardroom,
London: International Corporate Governance Network.

Haniffa R (2002), Social Reporting Disclosure: An Islamic Perspective, Indonesian Management and Accounting Research, Vol. 1 (2): pp. 128-146
Harian Umum KOMPAS, Senin, 30 Mei 2005

Kakabadse, Nada Korac and Andrew K Kakabadse and Alexander Kouzmin. “Board Governance and Company Performenace: Any Correlations ?”. MCB University Press, 2001.

Kamali, M. H. (1989) “Source, Nature and Objectives of Shariah.” The Islamic Quarterly. Komite Nasional Kebijakan Good Corporate Governance. “Pedoman Good Corporate

Governance

Lippert, Robert L. “Multinationality, CEO Compensation, and Corporate Governance: Some Empirical Evidence”. Corporate Governance, 1999.

Lukviarman, Niki. “Key Characteristics of Corporate Governance: The Case of Indonesia”, Working Paper Series, Graduate School of Business, Curtin University of Technology, September, 2001.

M. A., Shaikh (1987), “Ethics of Decision Making in Islamic and Western Environments,” The American Journal of Islamic Social Sciences 5, No. 1.

Sang-Woo Nam dan Il Chong Nam (2004), Corporate Government in Asia: Recent Evidence from Indonesia, Republic of Korea, Malaysia and Thailand, Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Shahul (2000) “The need for Islamic accounting: Perceptions of its Objectives and Characteristics by Muslim Accountants and Accounting Academics”, PhD Thesis, University of Dundee.

Shivdasani,A., 1993., Board Composition, Ownership Structure, and Hostile Takeovers., Journal of Accounting and Economics, 16:167- 198.

Steirnber Richard M., and Bromilow Chaterine L., 2000., Audit Committee Effectiveness-What Works Best., PricewaterhouseCoopers.

Steirnber Richard M., and Bromilow Chaterine L., 2000., Corporate Governance and the Board-What Works Best., Pricewaterhouse Coopers.

Syakhroza, Akhmad., 2002., Tiga Pondasi Memahami Corporate Governance., Bisnis Indonesia., 11 Juli 2002.

Turnbull Shann., 1997., Corporate Governance: Its Scope, Concern and Theories., Corporate Governance, Vol.5., No.4, October.

Vanasco, Rocco R. “The Audit Committee: An International Perspective”. Managerial Auditing Journal. Vol 9 No. 8, 1994. Vinten, Gerald. “Corporate Governance: The Need to Know”. Industrial and Commercial Training. Vol.32 No. 5, 2000.

World Bank. “Corporate Governance: A Framework for Implementation”. 1999.

Zhuang Juzhong, David Edwands. And Ma Virginita A Capulong. “Corporate Governance and Finance in East Asia: A Study of Indonesia, Republic of Korea, Malaysia, Philippines, and Thailand”. Volume 2. Asian Development Bank,1997.
























14


No comments:

Post a Comment

 
Support by Blog &
Member of Kopizine and Loenpia.net