Prof. Dr. Huala Adolf SH. LL.M.
Dr. An An Chandrawulan SH. LL.M.
Pada
mulanya dalam menghadapi atau menyelesaikan sengketa negara-negara biasanya
menggunakan cara kekerasan atau ancaman (coercive). Cara seperti ini antara
lain misalnya dipraktekannya Gun-Boat Policy dari negara pengirim modal
terhadap negara penerima modal.
Dalam
perkembangannya, negara-negara mulai beradab dan meninggalkan cara-cara
kekerasan. Mereka mulai memiliki cara yang damai, pertama mereka menempuh
cara-cara melalui kesepakatan, kesepakatan bias dilakukan sebelum sengketa
timbul yaitu melalui pembuatan klausul penyelesaian sengketa, atau kesepakatan
yang ditandatangani negaranya dengan negara lain yang akan menerima penanaman
modal.
Kesepakatan
kedua adalah kesepakatan yang dituangkan setelah sengketa lahir. Kesepakatan
ini biasanya di tempuh apabila para pihak sebelumnya atau negaranya tidak
membuat kesepakatan atau telah ada kesepakatan tetapi para pihak memillih forum
yang telah disepakati sebelumnya.
Dalam
perkembangannya negara-negara mulai meninggalkan cara ini, mereka beralih
kepada penyelesaian pihak ketiga, yaitu melalui pembentukan arbitrase
internasional baik sifatnya ad-hoc atau melalui badan arbitase yang sudah ada
atau melalui pembentukan suatu komisi penuntut (claims Commission).
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase internasional kemudian dirasa penting peranannya
mengingat praktek-praktek di berbagai negara telah lama merasakan peran penting
lembaga penyelesaian sengketa arbitrase di dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa lintas batas negara termasuk didalamnya menyelasaikan sengketa
penanaman modal dengan baik.
Berbagai
instrument hukum internasional memasukan arbitrase sebagai forum utama
penyelesaian sengketa bahkan bank dunia membentuk lembaga atau badan arbitrase
internasional khusus untuk menyelesaikan sengketa penanaman modal, yaitu
konvensi ICSID 1965.
North
American Free Trade Area (NAFTA), perjanjian penanaman modal ASEAN dan bahkan
dalam UU Penanaman Modal di Indonesia.
Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
menurut UU No 25 Tahun 2007
UU
No 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal sangat irit dalam mengatur
penyelesaian sengketa penanaman modal. Hanya ada satu pasal mengatur masalah
ini, yaitu pasal 32 UU dengan empat ayat.
Ayat
satu meletakan prinsip dasar dalam penyelesaian, ketika perselisihan muncul
para pihak harus menempuh negosiasi untuk menyelesaikam perselisihan tersebut.
Ayat
2 menyatakan, ketika negosiasi gagal maka para pihak dapat mengajukan sengketa
ke arbitrase, APS atau pengadilan sesuai dengan UU.
Ayat
3 menyatakan bahwa ketika perselisihan muncul antara pemerintah dan investor
dalam negeri maka akan di selesaikan melalui arbitrase dengan persetujuan para
pihak. Jika tidak ada persetujuan dicapai, perselisihan tersebut akan di
selesaikan oleh pengadilan.
Ayat
4 mengatur bahwa jika sengketa timbul antara pemerintah dan investor asing,
maka sengketa akan diselesaikan oleh arbitrase internasional yang harus di
sepakati oleh para pihak.
UU
No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pada
tanggal 12 Agustus 1999, pemerintah mengesahkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa. Kelahiran UU ini antara lain karena
desakan cukup banyak suara yang mengharapkan adanya UU Arbitrase nasional
mengenai penyelesaian sengketa komersial yang efektif, singkat dan terpercaya
di Indonesia.
Dengan
Pemberlakuan UU No. 30 Tahun 199, Indonesia untuk pertama kalinya memiliki UU
Arbitrase, UU itu juga mengandung ketentuan tentang alternative penyelesaian
sengketa (APS Alternative Dispute Resolution).
Indonesia
juga terikat terhadap New York Covention on the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbitral of 1958, sebagaimana telah diratifikasi dengan keputusan
Presiden No. 34 Tahun 1981.
Indonesia
juga merupakan anggota Washington Convention on the Settlement of Investment
Disputes between States and Nationals of Other States 1965, diratifikasi dengan
UU No 5 Tahun 1968.
Arbitrase
UU
arbitrase mengandung sejumlah ketentuan baru, ada tiga ketentuan penting antara
lain :
1. UU
arbitrase menentukan batas waktu untuk setiap tahapan dalam proses arbitrase,
dari pemilihan arbiter sampai batas waktu bagi arbiter mengambil keputusan.
2. UU
arbitrase membedakan putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase
internasional
3. Ketentuan
eksekusi putusan dapat dilakukan jika salah satu dari pihak yang bersengketa
adalah negara Indonesia, jika terdapat kasus seperti ini UU Arbitrase
menentukan bahwa Mahkamah Agung harus memberikan perintah eksekusi dalam
hubungannya dengan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Jika
penyelesaian sengketa melibatkan privat maka eksekusi dilakukan oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
UU
Arbitrase menentukan bahwa tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui
arbitrase, menurut UU arbitrase sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanyalah sengketa dagang (pasal 5).
Akibat Hukum Perjanjian
Perjanjian
arbitrase mengikat para pihak yang menandatanganinya, Pengadilan Negeri tidak
memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa bila para pihak terikat
perjanjian arbitrase, tetapi pengadilan negeri kadang-kadang tidak mengikuti
aturan ini, contohnya tanggal 25 januari tahun 2000, dalam kasus perusahaan
dagang tempo melawan PT Roche Indonesia, Ketua PN Jakarta Selatan menyatakan
bahwa PN memiliki kewenangan mengadili perkara tersebut pasal 19 perjanjian
yang di tandatangani keduabelah pihak secara jelas sepakat untuk
menyelesaikannya melalui arbitrase.
Bilateral Investment Treaties
Sumber
hukum lainnya yang negara negara di dunia jadikan dasar hukum untuk menjalin
kerjasama di bidang penanaman modal adalah perjanjian bilateral.
Mula-mula
di praktekan oleh Amerika Serikat, Pasca Perang Dunia 1 AS mulai giat
menanamkan modalnya di luar negeri dan dengan semakin meningkatnya penanaman
modal AS di luar negeri seusai PD II, AS membuat suatu program untuk membuat
perjanjian bilateral mengenai persahabatan, perdagangan dan navigasi serta
masalah-masalah komersial lainnya, khususnya mengenai peningkatan dan
perlindungan penanaman modal langsung yang dilakukan oleh warga negara AS.
BIT
muncul di akhir tahun 1960-an, ketentuan BIT berevolusi dari waktu ke waktu
terdapat empat periode perkembangan BIT
1. Memuat
ketentuan perlindungan penanaman modal dasar, dan klausul sengketa antar
negara.
2. Generasi
kedua BIT memuat klausul sengketa antara investor dengan Negara melalui
arbitrase.
3. Generasi
ketiga BIT memuat klausul arbitrase dan ketentuan perlindungan penanaman modal
yang komprehensif
4. Generasi
keempat BIT memuat modifikasi atau perubahan terhadap beberapa klausul dan
memuat ketentuan procedural yang lebih baku.
Praktik BIT Indonesia
Indonesia
adalah salah satu negara yang cukup aktif menjalin kerjasama bilateral di
bidang penanaman modal, sampai saat ini, BIT yang telah pemerintah tandatangani
berjumlah sekitar 66 BITs.
Pemerintah
telah terlibat dalam 6 sengketa penanaman modal di ICSDI, dalam semua sengketa
ini, pemerintah menjadi tergugat, antara lain
1. Sengketa
Amco Asia
2. Sengketa
Churchil Mining Plc
3. Sengketa
Rafat Ali Rizvi
4. Sengketa
PT Newmont Nusa Tenggara
5. Sengketa
Cemex Asia Holding
6. Sengketa
Kaltim vs Kaltim Prima Coal 2007
Upaya
meminimalisasi penyelesaian sengketa ke ICSID
Lahirnya
berbagai gugatan investor asing terhadap negara RI telah mempengaruhi sikap
pemerintah terhadap arbitrase ICSID, pada 22 September 2012 pemerintah
mengeluarkan Keppres no 31 Tahun 202 tentang perselisihan yang tidak di
serahkan penyelesaiannya pada yuridiksi ICSID.
Dari
Muatan Pasal 1 Keppres tampak berupaya menutup atau paling tidak membatasi
kemungkinan investor asing menggugat kebijakan pemerintah kabupaten di bidang
tata usaha negara.
Bentuk
ratifikasi yang pemerintah berikan terhadap ratifikasi Konvensi ICSID adalah
UU, artinya dengan instrument UU ini peperintah secara kedalam telah menyatakan
keterikatannya terhadap substansi konvensi ICSID, yaitu komitmen atau
keterikatan pemerintah untuk memberi perlindungan penanaman modal asing dengan memberi
hak kepada investor untuk mengajukan sengketanya kepada badan arbitrase
internasional.
Masalahnya
adalah keterikatan berdasarkan UU ini dapat dikurangi dan dibatasi
pemberlakuannya dan keterikatannya oleh suatu produk peraturan
perundang-undangan yang ada di bawahnya yaitu Keppres?
Apakah
Keppres ini dapat diberlakukan secara ekstrateritorial?, atau apakah keppres
ini dapat di berlakukan kepada negara lain?
Keppres
No 31 tahun 2012 ini hanyalah mengikat kedalam negeri, muatannya tidak
menyebabkan atau menghilangkan hak investor asing untuk tetap melayangkan
gugatan kepada badan arbitrase ICSID di Washingtong, hak investor terjamin oleh
konvensi ISCID.
Upaya
investor asing menggugat pemerintah Indonesia di ICSID telah membuat posisi
pemerintah Indonesia kewalahan,
Gugatan
investor ke arbitrase internasional didasarkan pada sumber hukum berupa
perjanjian mengenai perlindungan dan peningkatan penanaman modal BIT, dan
pemerintah telah menandatangani sekitar 72 BIT. Didalam BIT memuat kalusul
arbitrase, klausul arbitrase memuat janji pemerintah bahwa apabila timbul
sengketa penanaman modal, pemerintah berjanji untuk menyelesaikan sengketanya
di arbitrase internasional.
Alasan
pemerintah menandatangani perjanjian BIT dan meratifikasi Konvensi ICSID adalah
untuk meyakinkan investor asing untuk menanamkan modalnya di RI.
Sewaktu
pemerintah meratifikasi Konvensi ICSID pada 1981, UU penanaman modal di
Indonesia adalah UU No.1 tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6
Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Sejak
Meratifikasi Konventis ICSID, UU tidak diamandemen atau paling tidak
mencerminkan adanya perkembangan norma baru yang berlaku di tanah air.
UU
No 1 Tahun 1967 tidak ada satupun pasal yang mengatur penyelesaian sengketa,
apalagi arbitrase. Padahal klausul penyelesaian sengketa di dalam peraturan
perundang-undangan di Dunia adalah salah satu hal yang paling penting.
Kemudian UU No 1
Tahun 1967 diganti dengan keluarnya UU No 25 Tahun 2007 namun hanya ada satu
pasal yang sederhana dan jauh dari lengkap yg mengatur penyelesaian sengketa,
aturan yang sederhana itu menguntungkan investor asing, dengan minimnya aturan
hukum arbitrase di Indonesia untuk sengketa penanaman modal, investor akan
lebih melihat aturan arbitrase penanaman modal yang ada di lingkup
internasional sebagai pedoman untuk menyelesaikan sengketa, aturan sederhana ini juga menyulitkan pemerintah atau kementrian Khususnya BKPM di dalam
negosiasi berbagai perjanjian dagang dan penanaman modal internasional .
No comments:
Post a Comment