Udara dingin pegunungan menyayat kulit siapa saja yang berani berpakaian tanpa pelapis penghangat tubuh, fajar itu suara adzan subuh menggema dengan lembut, hiruk pikuk pondok pesantren Darul Qur'an bergemuruh memekakkan telinga siapa saja yang masih tertidur nyenyak.
Di lantai dua para santri sibuk lalu lalang bersiap memenuhi kewajiban mereka, penjaga asrama menghampiri pintu-pintu tiap kamar tidur santri, di hentaknya pintu-pintu yang masih tertutup rapat hingga berdebam-debam, segayung air dingin siap menghujani santri manapun yang masih sengaja tertidur nyenyak dalam mimpi-mimpinya.
Suasana fajar di pondok yang tidak pernah terlupakan, suasana khas dari keheningan malam hingga tiba-tiba membuncah bergemuruh bak sedang terjadi teror bom di sebuah hotel, di fajar itu semua orang bangun untuk melakukan rutinitas sehari-hari.
Nenek selalu bangun lebih dulu di bandingkan para penghuni pondok, umurnya hampir 80 tahun, tubuhnya masih tegap meski kulitnya sudah keriput, giginya hanya tersisa beberapa buah saja, beliau memakai gigi palsu.
Air dingin fajar hari tidak sedikitpun menciutkan Nenek untuk mengambil air wudhu guna beribadah, setelah shalat subuh nenek membaca Al Qur'an dan meneruskannya dengan memuji-muji Tuhan dengan irama-irama yang melantun mengitari seisi kamarnya hingga pagi, sebuah persembahan mulia seorang hamba yang di sayangi Tuhannya, kupikir Tuhan pasti tersenyum setiap pagi melihat Nenek.
Nenek telah lama menjadi sukarelawan di pondok untuk membantu urusan perut para siswa, beliau memasak nasi hingga lauk pauk yang siap di santap para santri.
Nenek cukup lama di tinggal Kakek yang lebih dulu menghadap tuhan, beliau memiliki anak-anak yang cukup sukses, meski begitu beliau memilih hidup dengan tenaga sendiri, dan berusaha untuk bisa bermanfaat untuk orang lain, beliau memilih tinggal di pondok di bandingkan tinggal dengan anak-anaknya yang bisa mengurus dan mencukupi segala kebutuhannya, keputusan yang begitu mulia mengingat banyak orang-orang punya cita-cita di hari tua ingin istirahat dalam kecukupan tanpa harus berkerja, Nenek justru sebaliknya.
Nenek cukup lama di pondok, beliau terus bekerja setiap hari, kuperhatikan ibadahnya pun tidak pernah putus, tidak jarang Nenek sakit di persendiannya, pegal-pegal karena terus beraktivitas setiap hari, tetapi tidak lama beliau sehat kembali dan menjalankan tugasnya dengan baik.
Suatu pagi matahari memancarkan sinarnya yang terang, menghangatkan setiap raga manusia setelah dihantam dinginnya malam di daerah pegunungan, hiruk pikuk pondok terlihat seperti biasanya, angin berhembus kecil membelai lembut pucuk-pucuk dedaunan, butiran embun menggelinding jatuh ke tangkai muda di bawahnya, tidak lama tersentuh sinar matahari dan menguap di udara.
Nenek berjalan mnyusuri anak tangga, menuju pondok, tangan kanannya menggenggam sebungkus lontong yang di belinya pagi itu, satu langkah yang salah nenek terjatuh, lengan kirinya menghentak tangga, sontak beliau menyebut-nyebut nama Tuhannya sambil meringis kesakitan, beberapaorang santri bergegas menghampiri beliau untuk memberi pertolongan, digotongnya Nenek ke dalam pondok. Setelah di periksa ternyata lengan kirinya terkilir, hilang sudah hari itu, Nenek tidak bisa berkerja, beliau harus meringkuk di kamar sampai kesehatannya pulih.
***
Siang itu Aku berusaha bertahan di tengah macetnya jalur kendaraan menuju puncak, mobil dan sepeda motor berbaris tertib menunggu sejengkal dua jengkal jalan kedepan, suara kelakson melengking panjang menandakan para supir sudah habis kesabaran, ini hari selasa, tidak biasanya jalanan macet, pelan-pelan butiran keringat di rambutku menggelinding ke leher, baju batik keris yang kupakai mulai terasa sesak, Aku meniup sana sini dan melonggarkan pakaianku berharap sedikit udara masuk mendinginkan tubuhku yang sudah kegerahan, kurang lebih satu jam terjebak macet, jalanan mulai renggang laju kendaraan kembali lancar dan mengantarkan ku sempurna ke tempat tujuan.
Aku berjalan pelan di pekarangan sebuah rumah, lama tidak pernah berkunjung, tidak banyak yang berubah, udara segar pegunungan meyusup sampai langit-langit hidungku, rasa gerah yang mengutuk di perjalan kini hilang seketika, Aku melihat beberapa untaian kain yang bermotif batik terhampar di tali jemuran melambai-lambai lembut di hembus angin, beberapa tanaman berbunga dalam pot berjejer rapih menghiasi teras rumah,
Aku mengetuk pintu tiga kali, lalu mengucapkan salam, sesekali Aku mengintip jendela yang tirainya sedikit terbuka, kulihat seorang wanita tua melangkah pelan menuju pintu dan membukanya perlahan, lalu membalas ucapan salamku, Ia menatap ku kosong dalam tanya, mencoba memutar ingatannya yang mungkin saja di usia setua itu sulit untuk memutarnya dengan cepat, sekali lagi Ia menatapku lebih dekat berharap memecahkan teka-teki dadakan yang tumbuh di kepalanya sambil bertanya-tanya siapa orang yang berada di hadapannya itu, perlahan tangannya menggenggam lenganku tidak lama kemudian Ia menyebut namaku, Akupun tersenyum haru lalu memeluknya, oh Tuhan Nenek masih mengingatku.
Nenek, setaun lebih Aku tidak menjumpainya, beliau masih tajam ingatan, masih bisa berjalan, kami pun bercengkrama di ruang tamu layak anak dan seorang Ibu, Aku menyayanginya lebih dari siapapun, beliau merawatku ketika Ibuku meninggal dunia saat umurku 10 tahun, beliau merawatku dengan baik, dan sabar, banyak cerita yang telah Aku lewati dengan Nenek.
Satu hal yang Aku tidak mengerti, Nenek merasa tidak bahagia di layani siapapun termasuk Aku mungkin, beliau ingin bisa mengurus dirinya sendiri, dengan jiwa raganya sendiri, tanpa merepotkan orang lain, beliau ingin berguna untuk orang lain sampai akhir hayatnya, tetapi keadaannya tidak memungkinkan.
Bogor, August 21, 2014
keren bal.
ReplyDeletekisah nyata yak?
iya non fiksi
Delete